Seringkali dalam suatu event seminar/workshop Linux/Opensource, saya mengatakan bahwa dalam melakukan sosialisasi Linux/Opensource haruslah diposisikan sebagai sebuah solusi, bukan sekedar pengganti OS atau software-software Proprietary.

Pertanyaan yang diajukan oleh peserta adalah, apa bedanya antara keduanya?

PENGGANTI (REPLACEMENT)

Tidak bisa dipungkiri, bahwa tingkat penggunaan software bajakan di Indonesia sangat tinggi. Kita dapat dengan mudah mendapatkan CD installer untuk OS proprietary di pasaran, toko komputer, mall, dan bahkan di lapak kaki lima ditepi jalan.

Gaung opensource akhirnya menyebar sampai ke tanah air. Bahkan pemerintah juga ikut “sibuk” dengan Deklarasi Indonesia Go Open Source (IGOS) yang ditandatangani oleh 5 kementerian saat itu. Disusul oleh Surat edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) untuk penggunaan software-software opensource di lingkungan pemerintah.

Pada tahap awal, sosialisasi linux dilakukan dengan semangat untuk mengganti software-software berlisensi kode tertutup dengan software-software opensource. ‘Migrasi’ adalah kata-kata yang sering dipakai untuk menggambarkan perpindahan sistem dan program-program proprietary ke opensource.

Tapi selama berjalannya waktu, entah karena sosialisasi yang kurang atau bahkan faktor lobby/bargainning yang bagus dari marketting developer software proprietary, lambat laun gerakan migrasi ke opensource semakin menurun. Salah satu kementerian yang ikut tanda tangan deklarasi IGOS, yaitu Kementerian Pendidikan Nasional (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) pun akhirnya beralih melakukan MOU dengan salah satu vendor software proprietary, untuk penerapan TIK di dunia pendidikan Indonesia.

Kendala

Beberapa kendala pelaksanaan migrasi ini adalah sbb :

1. Tidak adanya edukasi secara bertahap. Begitu gaung opensource menyebar, semua pihak seakan-akan diliputi euforia, dan ramai-ramai mencoba mengganti sistem operasi dan program-program produksi mereka ke linux/opensource. Sayangnya pemerintah juga ikut-ikutan, menerbitkan aturan ini itu yang ‘memaksa’ untuk segera migrasi dan mewujudkan ambisi IGOS. Hal ini tanpa diikuti oleh edukasi dan sosialisasi menyeluruh tentang apa itu opensource dan manfaatnya secara real, cuma sekedar sebagai pengganti software bajakan.


2. Kurangnya dukungan teknisSalah satu faktor seseorang menggunakan software untuk membantu pekerjaannya adalah karena adanya dukungan teknis. Dukungan teknis bisa didapat dari layanan yang diberikan oleh developer atau dari layanan teknis pihak ketiga. Untuk software-software proprietary sudah jelas, siapa yang melakukan dukungan teknis resmi dan bahkan banyak yang mampu melakukan dukungan teknis non resmi. Linux dan opensource terdiri dari berbagai macam distribusi/distro (Redhat, Debian, Fedora, Ubuntu, dll), dan jarang sekali (kalo boleh dikatakan hampir tidak ada) perusahaan di Indonesia yang menjadi rekanan resmi distributor Linux. Akibatnya untuk melakukan migrasi besar-besaran, beberapa pengambil kebijakan baik di pemerintahan maupun perusahaan, masih harus berpikir ulang.

3. Pola pikir “Gratis”. Opensource adalah free, free yang dimaksud adalah freedom atau kebebasan. Sayangnya di Indonesia sudah melekat penggunaan istilah free adalah gratis. Pada awalnya, linux dan opensource dikampanyekan dengan istilah gratis, untuk menarik orang agar pindah ke linux daripada memakai software bajakan. Tapi hal ini akhirnya menjadi bumerang bagi pergerakan opensource sendiri. Istilah gratis yang terlanjur melekat akhirnya memberikan persepsi bahwa Linux dan Opensource itu gratisan dan murahan, tidak cocok untuk kegiatan IT yang serius dan professional.


    LINUX/OPENSOURCE SEBAGAI SOLUSI


    Dengan berbagai kendala diatas, sudah saatnya sosialisasi Linux dan Opensource lebih ditekankan kepada memberikan solusi daripada memaksakan migrasi.

    Bagaimana cara menawarkan linux atau opensource sebagai sebuah solusi :

    1. Ketahui kebutuhan. 
    Pertama-tama harus dilakukan pemetaan kebutuhan pemakai. Selama ini mereka memakai sistem dan program apa? Untuk kegiatan apa? Personal atau Pekerjaan.


    2. Pemilahan
    Setelah tahu kondisi pemakai, maka mulai saatnya di lakukan pemilahan, mana-mana saja yang bisa di migrasikan ke solusi opensource dan mana-mana saja yang tetap memakai solusi proprietary. Pemilahan ini dilakukan berdasarkan banyak pertimbangan, diantaranya kesinambungan produktifitas, total harga kepemilikan, proses integrasi, dll. Intinya perlu dipertimbangkan jangan sampai proses migrasi justru akan menghambat produksi, dan malah merugikan si pemakai. Oleh karena itu, tidak semua software bisa di migrasikan ke solusi opensource, pilih yang terbaik.

    3. Pemilihan.

    Pemilihan disini adalah memilih jenis dan versi software opensource yang tepat. Berbagai macam software yang ada dipasaran dengan kehandalan dan stabilitas yang berbeda-beda, pun demikian dengan fungsinya. Kita harus benar-benar memilih solusi yang bisa memenuhi kebutuhan pemakai.

    4. Dukungan layanan teknis.

    Yang tidak bisa dilupakan, adalah adanya dukungan layanan teknis. Forum diskusi hanya efektif jika digunakan oleh orang teknis, tetapi tidak semua pemakai berkarakter teknisi, beberapa bahkan businessman yang hanya memperdulikan kelancaran jalan usahanya. Dukungan teknis sangat diperlukan sebagai jaminan bahwa penggunaan opensource dapat menjadi solusi yang tepat. Jenis dukungan teknis bisa konsultasi, trainning, sampai ke penanganan teknis langsung/outsourcing.

      Categories: Teknologi

      2 Comments

      Leave a Reply

      Avatar placeholder
      Send this to a friend